Larangan
Wanita Pergi Tanpa Mahram
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
مَّا أَفَآءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ
أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى
وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لاَ يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَآءِ
مِنكُمْ وَمَآ ءَآتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا
وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Apa yang diberikan Rasul
kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka
tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras
hukuman-Nya. (Al Hasyr : 7)
Apa saja harta rampasan (fai-i) yang
diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka
adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin
dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di
antara orang-orang kaya saja di antara kamu.
Yakni apa yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam perintahkan kepadamu maka kerjakanlah dan apa yang dilarangnya,
jauhilah. Sesungguhnya beliau hanya memerintahkan kepada kebaikan dan melarang
dari kejelekan.
Ibnu Juraij berkata : “Apa yang datang kepadamu untuk
taat kepadaku (Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) maka kerjakanlah dan
apa yang datang kepadamu untuk bermaksiat kepadaku maka jauhilah.”
Bisa kita saksikan kenyataan di sekitar kita, semakin
banyak kaum Muslimah mengadakan safar tanpa didampingi oleh mahramnya. Amalan
semacam ini tak lain hanya akan membawa kebinasaan bagi wanita tersebut baik di
dunia maupun di akhirat. Karena itu agama Islam yang hanif memberikan benteng
kepada mereka (kaum Muslimah) dalam rangka menjaga dirinya, kehormatannya, dan
agamanya.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
“Janganlah wanita melakukan safar selama 3 hari
kecuali bersama mahramnya.” (HR. Bukhari, no. 1862, dan Muslim,
no. 1341)
“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman
kepada Allah dan hari akhir melakukan safar (bepergian) selama satu hari satu
malam yang tidak disertai mahramnya.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu
Dawud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad)
Dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma bahwasanya
ia mendengar Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Janganlah
seorang wanita melakukan safar kecuali bersama mahramnya dan janganlah
seorang laki-laki masuk menjumpainya kecuali disertai mahramnya.” Kemudian
seseorang bertanya : “Wahai Rasulullah ! Sungguh aku ingin keluar bersama
pasukan ini dan itu sedangkan istriku ingin menunaikan haji.” Maka
bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : “Keluarlah bersama
istrimu (menunaikan haji).” (Dikeluarkan hadits ini oleh Muslim dan
Ahmad)
Hanya saja,
sebagian ulama mazhab Syafi'i dan Maliki serta beberapa kalangan salaf
berpendapat dibolehkannya seorang wanita melakukan ibadah haji tanpa mahram
jika dia mendapatkan teman yang dipercaya.
Mereka
berdalil dengan apa yang disebutkan penanya, yaitu bahwa isteri-isteri
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menunaikan haji tanpa mahram. Hal
tersebut diriwayatkan oleh Bukhari, rahimahullah, no. 1860, bahwa Umar bin
Khatab, radiallahu'anhu, mengizinkan isteri-isteri Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam dalam haji terakhir yang mereka lakukan, lalu beliau mengutus Utsman bin
Affan dan Abdurrahman bin Auf untuk berangkat bersama mereka,
Ulama yang
berpendapat dengan pendapat pertama (tidak dibolehkannya wanita melakukan safar
tanpa mahram) memiliki beberapa jawaban terhadap dalil yang mereka jadikan
sebagai landasan ini, di antaranya,
1. Mereka berkata, dalam hadits tersebut
tidak ada petunjuk bahwa mereka (para isteri Nabi) tidak bersama mahram. Boleh
jadi mahram mereka bersama mereka dalam rombongan haji yang sama. Adapun Umar
bin Khatab mengutus Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf untuk berangkat
bersama mereka, hal itu untuk menambah rasa hormat dan ketenangan. Hendaknya
jangan diduga bahwa para shahabat menyelesihi larangan Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam tentang larangan wanita melakukan safar tanpa mahram. Apalagi ada
sebagian riwayat, meskipun dalam sanadnya mengandung catatan, yang menunjukan
adanya para mahram mereka (ketika itu).
Ibnu Jauzi
telah meriwayatkan dalam 'Al-Muntazam' dalam kejadian-kejadian tahun 23 H, dari
Abu Utsman dan Abu Haritsah dan Rabi' dengan sanad mereka, mereka berkata,
"Umar menunaikan haji bersama isteri-isteri Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam yang berangkat bersama para wali mereka yang mereka boleh tidak berhijab
di depannya. Beliau menjadikan di depan rombongan adalah Abdurrahman bin Auf,
sedang di akhirnya Utsman bin Affan….
Disamping
sangat jauh kemungkinan jika mereka tidak bersama mahram sedangkan yang
melakukan safar untuk haji waktu itu dari Madinah sangat banyak. Umumnya tidak
sepi kemungkinan di sana ada saudara laki-laki, atau kakek, atau paman dari ibu
atau dari bapak, atau salah seorang mahram sepersusuan, sedangkan menyusui anak
orang lain adalah prilaku yang banyak dilakukan kala itu.
2. Sekalipun kemungkinannya mereka melakukan
safar tanpa mahram, maka itu merupakan ijtihad dari mereka. Sebagaimana
diketahui bahwa ijtihad para shahabat tidak diterima jika bertentangan dengan
nash shahih yang bersumber dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
Ash-Shan'ani,
rahimahullah, berkata, "Hal tersebut tidak dapat dijadikan hujjah, karena
dia bukan ijma'" (Subulus-Salam, 2/930)
3. Adapula kelompok ketiga yang berpendapat
bahwa hal tersebut merupakan kekhususan isteri-isteri Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam, karena mereka adalah Ummahatul-Mu'minin (para ibu kaum mukmin), maka
semua kaum laki adalah mahram bagi mereka. Abu Hanifah, rahimahullah, berkata,
"Orang-orang (laki) bagi Aisyah adalah mahram, bersama siapapun di antara
mereka dia melakukan safar, maka dia dikatakan safar bersama mahram, dan hal
tersebut tidak berlaku bagi wanita lainnya."
Hanya saja
jawaban Abu Hanifah tidak dapat diterima. Karena kedudukan isteri-isteri Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai ibu kaum beriman adalah dari sisi bahwa
mereka haram dinikahi, bukan dalam hal mahram. Karena, kalau mereka dikatakan
sebagai ibu kaum mukminin dari sisi mahram, niscaya dibolehkan bagi mereka
melepas hijabnya di hadapan orang laki-laki lain, dibolehkan pula berkhalwat
bersama mereka, serta perkara-perkara lain yang terkait dengan hukum seorang
mahram. Dan hal tersebut tidak pernah dikatakan oleh seorang pun.
Ibnu Taimiah
berkata dalam Minhaj As-Sunnah, 4/207, tentang isteri-isteri Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam, 'Mereka adalah Ummahatul-Mu'minin (para ibu orang beriman)
dalam hal bahwa mereka haram dinikahi, bukan dalam hal mahram."
Yang dapat
dijadikan pedoman sebagai jawaban adalah jawaban pertama.
Kesimpulannya,
tidak boleh menolak hadits-hadits shahih yang jelas dengan mengambil kesimpulan
dari sebagian perbuatan shahabat yang masih mengandung berbagai kemungkinan.
Yang diwajibkan adalah mengikuti apa yang sudah tetap, bukan yang masih
mengandung berbagai kemungkinan.
Syaikh
Abdul-Aziz bin Baz, rahimahullah, ditanya, "Mereka berkata, 'Sesungguhnya
Aisyah radhiallahu'anha menunaikan haji bersama Utsman tanpa mahram?'
Maka beliau
menjawab,
'Hal tersebut
membutuhkan dalil, tidak boleh dikatakan, dia (Aisyah) menunaikan haji tidak
bersama mahram tanpa dalil. Mestinya dia bersama mahram, dia memiliki
keponakan-keponakan, adapula saudara laki-lakinya, Abdurrahman, adapula
keponakan dari saudara perempuannya, Asma. Orang yang mengatakan bahwa dia
menunaikan haji tanpa mahram, maka ucapannya dusta, kecuali dia mendatangkan
dalil. Kemudian seandainya benar dia menunaikan haji tanpa mahram, dia bukanlah
manusia ma'shum, semua shahabat tidak ma'shum. Dalil itu ada pada 'kata Allah'
dan 'kata Rasul-Nya'. Tidak bisa berhujjah dengan 'ucapan fulan dan fulan'. Apa
yang bertentangan dengan sunnah, maka tidak ada hujjah baginya, sebab hujjah
hanya pada sunnah yang suci. Ini adalah perkara yang sudah dikenal di kalangan
para ulama dan telah mereka sepakati.
Imam
Syafi'I, rahimahullah berkata, 'Orang-orang telah sepakat bahwa siapa yang
telah jelas baginya sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka dia
tidak boleh meninggalkannya karena ucapan seseorang."
Imam Malik,
rahimahullah berkata, 'Semua kita dapat menolak dan ditolak (ucapannya) kecuali
penghuni kuburan ini (maksudnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam). Yang
dimaksud adalah bahwa kaum muslimin diwajibkan berpedoman kepada sunnah, dia
tidak diharuskan menyelesihinya hanya karena perkataan fulan dan fulan.
Kemudian di samping itu, jangan ada yang menduga bahwa Aisyah radhiallahu'anha,
seorang ahli fiqih terkenal bahkan dia adalah wanita yang paling mengerti fiqih
di alam ini, menyelisihi sunnah dengan menunaikan haji tanpa mahram,
sedangkan dia adalah orang yang mendengar langsung hadits-hadits dari
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam."
(Fatawa
Syaikh Bin Baz, 25/361, 262)
Syekh Ibnu
Utsaimin rahimahullah berkata, "Jika seseorang berkata, pada rombongan
jamaah tersebut, mereka pada isteri-isteri Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam tidak bersama mahram, apakah dikatakan bahwa perkara itu merupakan
kekhususan isteri-isteri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, karena mereka
adalah ibu dari kaum mukmin, bukan dari sisi mahram, tapi dari sisi
penghormatan.
Atau
dikatakan bahwa mahram dalam riwayat tersebut tidak disebut (tapi ada).
Maksudnya diutus untuk mendampingi mereka dua orang shahabat mulia bersama
mahram-mahram mereka?
Kesimpulan
pertama ada kemungkinan, dan kesimpulan kedua juga ada kemungkinannya.
Jika kita
mengambil kaidah bahwa perkara yang masih samar diikutkan kepada perkara yang
sudah jelas, apa yang akan kita katakan?
Jawabnya,
kita katakan bahwa kemungkinannya adalah yang kedua. Maka kita katakan, bahwa
mestinya mereka pergi bersama para mahramnya, akan tetapi ditunjukkan kedua
orang shahabat tersebut sebagai penghormatan dan pemuliaan bagi ummahatul
mu'minin.
;;
Subscribe to:
Postingan (Atom)