Kemarin penulis membaca tentang fatwa MUI bahwa JILBOOBS (Jilbab tetapi bentuk tubuh masih sangat jelas menonjol) adalah haram, penulis jadi tergerak untuk membahas ulang masalah jilbab tersebut.
Apakah jilbab termasuk ijtihadi dalam syari’ah Islam sehingga kedudukannya menjadi Relatif (tidak wajib)?
Di akhir zaman ini banyak orang yang berani berfatwa dengan menabrak kesepakatan para ulama dan keluar dari kaidah ilmu fiqh yang disepakati. Mereka mencari pendapat-pendapat yang syadz (nyleneh) demi memuaskan orang-orang kafir bahwa Islam itu toleran, mengikuti zaman, padahal kelemahan pendapat mereka itu amat sangat mereka sadari.
Mirisnya lagi hal tersebut dilakukan oleh orang-orang yang katanya bergelar doktor atau bahkan profesor. Lalu mereka mengajarkannya dengan penuh semangat di universitas-universitas Islam, yang mayoritas pengajarnya lulusan dari negara-negara sekular dan kuffar.
Salah satu dari fatwa yang demikian itu adalah bahwa Jilbab itu tidak wajib. Jilbab merupakan masalah ijtihadiyah atau khilafiyyah, sehingga dalil hukumnya bersifat relatif dan tidak mengikat. Demikianlah salah satu igauan mereka di siang-bolong.
Jika diteliti fatwa-fatwa mereka itu penuh dengan pemutar-balikan fakta, perancuan dalil yang shahih dengan yang dha’if, memaksakan diri menggunakan tafsir bir ra’yil qabih/tafsir dengan logika yang sesat. Mereka, dengan sengaja, menjauhi tafsir bil ma’tsur (tafsir menggunakan dalil) karena akan menghancurleburkan semua pijakan mereka itu. Mereka juga menggunakan kaidah ushul-fiqh secara terbalik-balik sesuai hawa nafsu mereka sendiri.
Kesemuanya itu hanya menunjukkan ashabiyyah (fanatisme) terhadap syahwat dan taqdis (pengkultusan) kepada akal secara berlebihan. Dan ini merupakan ciri khas aliran mu’tazilah-jadidah (neo-rasionalis) yang kemudian sayap radikalnya bermuara kepada aliran liberal yang menyempal jauh dari ajaran Islam.
Salah satu ciri kelompok ini adalah pernyataan mereka bahwa dalam syariat Islam kebenaran sebuah pandangan adalah relatif karena semuanya adalah ijtihad. Maka, menurut mereka, setiap orang berhak untuk memilih mana yang menurutnya benar. Inna liLlahii wa inna ilayhi raji’un!
1. Makna penutup aurat dan jilbab
a. Aurat dalam bahasa Arab bermakna keburukan manusia[1], atau celah/kekurangan[2], adapun menurut syari’ah didefinisikan sebagai apa-apa yang diwajibkan untuk ditutupi dan diharamkan untuk dipandang[3].
b. Jilbab berbeda dengan kerudung (khumur)[4], karena jilbab adalah baju kurung yang panjang/jubah[5] yang digunakan agar menutupi seluruh yang di bawahnya. Ia merupakan kain yang diselubungkan di atas kerudung[6], atau sejenis kain selubung/semacam mantel (milhafah)[7].
2. Aurat wanita yang wajib ditutup dalam Al-Qur’an
a. Bukan hanya Istri Nabi saja yang wajib berjilbab:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59)
Berkata Imam At-Thabari bahwa maknanya, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman pada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam: 'Hai Nabi, katakan pada istrimu, anak-anak-mu dan wanita muslimah: Janganlah kalian menyerupai wanita-wanita lain dalam cara berpakaiannya (yatasyabbahna bil ima’i fi libasihinna) yaitu dengan membiarkan rambut dan wajah terbuka, melainkan tutup semua itu dengan jilbab.' (Tafsir At-Thabari, XX/324)
berkata Imam Ibnu Katsir bahwa maknanya: "Allah Subhanahu wa Ta'ala menyampaikan kepada Nabi-Nya agar memerintahkan kepada semua wanita muslimah supaya menjaga kehormatan mereka dan agar mereka berbeda dengan cara berpakaiannya wanita jahiliyyah yaitu hendaklah gunakan jilbab." (Tafsir Ibnu Katsir, VI/481)
Berkata Imam Asy-Syaukaniy bahwa ayat ini sabab-nuzulnya adalah berkenaan dengan peristiwa keluarnya Saudah radliyallah 'anha yang dicela oleh Umar radliyallah 'anhu, lalu turun ayat ini yang membolehkan wanita keluar rumah untuk suatu kepentingan asal mereka menutup jilbabnya. (Tafsir Durrul Mantsur, VIII/208)
b. Ayat Ini Tidak Ada Kaitannya Dengan Haditsul ‘Ifki
Di antara salah satu kedunguan dan kejahilan mereka dan guru-guru mereka adalah kata-kata mereka bahwa asbab-nuzul ayat ini berkaitan dengan peristiwa haditsul-’ifki pada Ummul Mu’minin Aisyah radliyallah 'anha. La haula wala Quwwata Illa billah!!
Persis sebagaimana dalam pepatah Arab dikatakan: Saarat Musyarriqah wa sirta Mugharriban, Syattaana baynal Musyarriq wa Mugharrib (Ia berjalan ke Timur tapi engkau malah berjalan ke Barat, Ketahuilah sungguh amat jauh jaraknya antara Timur dan Barat itu).
Sebagaimana kita ketahui bahwa peristiwa Al-’Ifki itu turun berkenaan dengan QS. An-Nuur, tidak ada hubungannya dengan QS Al-Ahzab. Karena surah Al-Ahzab turun berkenaan dengan bantahan kepada orang-orang Munafiq Madinah seperti Ibnu Ubay, yang didatangi tokoh-tokoh Quraisy Makkah ba’da perang Uhud, lalu mereka takut Nabi shallalahu 'alaihi wasallam akan mengetahui mereka, kemudian turun surah ini untuk meneguhkan Nabi dan membantah mereka)[8].
c. Ayat ini Tidak Bisa Menggunakan Kaidah Fiqh: Al-’Ibratu Bikhushushi Sabab La Bi Umumi Lafdz (Hukum itu Berdasarkan Khususnya Sebab Bukan Umumnya Lafdz)
Salah satu bentuk kerancuan berfikir mereka menyimpangkan kaidah secara tidak benar untuk mengelabui orang-orang bodoh (karena memang hanya orang bodoh saja yang tertarik pada pendapat mereka), bahwa sudah jelas-jelas ayat tersebut menyatakan: Qul Li Azwajika wa Banatika wa Nisa’il Mu’minin (Katakan pada istrimu, anakmu dan PARA WANITA MUSLIMAH..), lalu tiba-tiba mereka bicara tentang kaidah berdasarkan khususnya sabab saja, lha kepriben tho mas?!
Mengapa mereka sampai berfikir dengan kaidah terbalik-terbalik demikian?!
Karena kebohongan dan tidak menjaga amanah ilmiah sudah mendarah-daging dalam diri mereka dan diajarkan juga oleh guru-guru mereka. Akibatnya, memutar-balik hukum, dalil dan ayat tidak menjadi masalah buat mereka. Bagi mereka, yang terpenting, hawa-nafsu mereka terpuaskan, kalau perlu mengambil dalil fiqh dan hadits dari kitab sastra.
d. Saat turun Ayat Jilbab ini para shahabiyah langsung melaksanakannya tanpa banyak alasan dan keberatan
Berkata Ibnu Abi Hatim, telah menceritakan kepada kami Abu Abdillah Azh-Zhahraniy, dari apa yang ditulisnya untukku, telah menceritakan kepadaku Abdurrazzaq, telah menceritakan kepadaku Ma’mar, dari Ibnu Khutsaim, dari Shafiyyah binti Syaibah, dari Ummu Salamah berkata: “Semoga Allah Subhanahu Wa Ta'ala merahmati para wanita Anshar, pada saat turun ayat ini maka keluarlah semua wanita Anshar seolah-seolah di kepala-kepala mereka ada burung Gagak (Al-Ghirban), karena jilbab yang mereka kenakan dengan bahan yang seadanya yang mereka temui saat itu juga.” (Shahih Bukhari, no. 4759)
3. Aurat Wanita Dalam As-Sunnah
a. Hadits Pertama:
لَا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلَاةَ حَائِضٍ إِلَّا بِخِمَارٍ
“Tidak diterima shalat wanita yang sudah haidh (baligh –pen) kecuali menggunakan khimar (kerudung).” (HR Abu Daud no. 164; Tirmidzi, II/215-216; Ibnu Majah no. 655; Ibnu Abi Syaibah, II/28; Al-Hakim, I/251; Al-Baihaqi, II/233; Ahmad, VI/150; Di-shahih-kan oleh Albani dalam Al-Irwa’, I/214)
b. Hadits Kedua:
b. Hadits Kedua:
“Sesungguhnya Asma’ binti Abibakr (saat itu ia masih remaja –pen) masuk ke tempat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menggunakan pakaian yang menampak samar-samar bayang-bayang kulit di bawahnya, maka Nabi berpaling darinya sambil bersabda: Wahai Asma’ sesungguhnya wanita itu jika sudah haidh tidak boleh nampak bagian tubuhnya kecuali ini dan ini, beliau shallallahu 'alaihi wasallam memberi isyarat pada wajah dan tapak tangannya.” (HR Abu Daud, II/138, hadits ini dha’if tapi ada syahid dari hadits Asma’ binti Umays dari Al-Baihaqi, VII/76, sehingga menjadi hasan, lih. Al-Irwa’, VI/203)
c. Hadits Ketiga:
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
“Ada 2 kelompok manusia penghuni neraka yang belum pernah kulihat (saat beliau SAW hidup –pen), yang pertama laki-laki yang memegang cambuk seperti ekor sapi yang kerjanya memukuli manusia dengannya; yang kedua wanita yang berpakaian tetapi telanjang kalau jalan berlenggang-lenggok menggoda rambutnya seperti punuk unta, 2 kelompok ini tidak masuk Syurga dan tidak bisa mencium bau Syurga, padahal baunya tercium dari jarak sekian dan sekian (jarak yang amat jauh –pen).”(HR Muslim, XIV/229 hadits no. 5704)
4. Aurat yang wajib ditutup menurut madzhab yang empat
a. Menurut Madzhab Hanafi: Aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan 2 telapak tangannya, oleh karenanya kepala wanita adalah aurat yang harus ditutup.
Berkata Imam Hanafi: Kewajiban menutup aurat di depan manusia sudah menjadi ijma’ (konsensus semua ulama), demikian pula saat ia shalat walaupun shalatnya sendirian, maka seandainya saja ada orang yang melakukan shalat dalam keadaan sendirian tidak menutup aurat sekalipun di tempat yang amat gelap-gulita padahal ia memiliki pakaian yang dapat menutupinya maka shalatnya batal. (Raddul Mukhtar, I/375)
b. Menurut Madzhab Maliki: Aurat wanita di depan sesama wanita muslimah adalah sama dengan aurat laki-laki dengan sesama laki-laki (yang tidak boleh terlihat hanya antara pusar sampai lutut -pen), aurat wanita di depan laki-laki muslim adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan 2 tapak tangannya, aurat wanita di depan laki-laki kafir adalah seluruh tubuhnya termasuk wajah dan 2 tapak tangannya.
Berkata Imam Malik: Jika seorang wanita merasa wajahnya atau tapak tangannya demikian indahnya sehingga ia amat kuatir orang yang melihatnya terkena fitnah maka baik ia tutup bagian tersebut (dengan cadar misalnya –pen).
c. Menurut Madzhab Syafi’i[9]: Aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan 2 tapak tangannya, yaitu tapak tangannya yang bagian atas maupun yang bagian bawahnya bukan termasuk aurat, tapi dalam masalah ini madzhab kami ada 2 qaul, namun berkata Al-Muzni bahwa yang kuat ia bukan termasuk aurat. Telapak kaki wanita termasuk aurat, bagi banci yang menurut kedokteran dominan sifat wanitanya maka auratnya sama dengan aurat wanita.
Berkata Imam Syafi’i: Bukan hanya batas aurat-nya saja yang harus ditutup, melainkan tidak cukup aurat tersebut ditutupi oleh pakaian yang menutupi seluruhnya jika ia masih ketat/membentuk tubuh. (Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah, hal. 54)
d. Menurut Madzhab Hanbali: Ada 2 qaul[10], yang pertama menyatakan bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuhnya sampai ke kuku-kukunya berdasarkan hadits riwayat Tirmidzi: Al-Mar’atu ‘aurah (wanita itu aurat), dan qaul kedua dikecualikannya wajah dan 2 tapak tangan berdasar hadits larangan bagi wanita menutup keduanya saat Ihram, juga sesuai dengan makna ayat “maa zhahara minha (kecuali yang biasa nampak)”, maka wajah dan 2 tapak tanganlah makna ayat tersebut karena keduanya tidak mungkin ditutup untuk mengenali orang saat berbisnis, ada juga yang menambahkan kedua tapak kaki. (Al-Furu’ Libni Muflih, I/476)
e. Tarjih wal Mulahazhat: Sebab dari adanya perbedaan pendapat ini adalah dalam menafsirkan ayat QS An-Nur di atas. Apakah maknanya ada yang boleh nampak atau maknanya tidak ada yang boleh nampak bagi wanita.
Jumhur fuqaha berpendapat wajah dan 2 tapak tangan bukan aurat bagi wanita (Imam Hanafi menambahkan tapak kaki wanita bukan aurat), sementara Abubakar bin Abdurrahman dan satu qaul dari Imam Ahmad berpendapat bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat.
Mereka yang berpendapat bahwa tidak ada yang biasa nampak untuk wanita dan menyatakan seluruh tubuhnya adalah aurat, berdalil dengan menafsirkan ayat ini dengan ayat di surah Al-Ahzab di atas (tafsirul Qur’an bil Qur’an). Adapun kelompok yang menyatakan adanya pengecualian wajah dan 2 tapak tangan berdalil dengan wajibnya membuka kedua hal ini saat hajji berdasar hadits-hadits shahih, dan pendapat yang kedua ini lebih kuat. Wallahu a’lam bish Shawaab.
Catatan Kaki:[1] Lih. Ash-Shihaah Fil Lughah, II/5; Tahdzib Al-Lughah, I/367
[2] Lih. Lisanul Arab, IV/612; Tajul Arus, I/3257
[3] Lih. Al-Fiqh Al-Islamiy, I/738
[4] Tafsir Ibnu Katsir, VI/481
[5] Kamus Al-Munawwir, bab Ja-la-ba, hal 199
[6] Demikianlah pendapat para mufassir seperti Ibnu Mas’ud, Ubaidah, Qatadah, Hasan Al-Bashri, Said bin Jubair, Ibrahim An-Nakha’i, Atha’ Al-Khurasaniy.
[7] Lih. Ash-Shihaah, I/101; demikian pendapat Al-Jauhary berdasarkan sya’ir seorang tokoh wanita dari suku Hudzail: “Berjalanlah ia seorang diri dengan lalai.. Yaitu dengan telanjang (hanya berkerudung saja –pen) tanpa berjilbab.”
[8] Lih. Asbab Nuzulil Qur’an, Al-Wahidi, I/126; Lih. Juga Tafsir Munir, Az-Zuhayli, XI/247
[9] Imam Az-Zayadi Asy-Syafi’i dalam Syarhul Muharrar menyebutkan 4 jenis aurat bagi wanita: Pertama, aurat saat shalat yaitu kecuali wajah dan 2 tapak tangan; Kedua, aurat pandangan dari orang laki-laki yaitu semuanya termasuk lelaki dilarang memandangi secara terus-menerus wajah dan tangan wanita; Ketiga, aurat di depan suami atau saat sendirian yaitu sama dengan aurat laki-laki (kecuali pusar dan lutut); Keempat, aurat di depan orang kafir yaitu seluruh tubuhnya (Lih. Hawasyi Asy-Syairaziy, II/112).h
[10] Menurut Abul Ma’aliy Al-Hanbali, aurat anak sbb: 1) Sblm 6 tahun semuanya bisa dilihat, 2) Setelah 6 th yang boleh dilihat rambut, betis dan lengan (ada juga yang menyatakan seluruh tubuhnya kecuali 2 kemaluan), 3) Setelah 10 tahun sama dengan setelah baligh (lih. Al-Furu’ Libni Muflih, I/476).
[2] Lih. Lisanul Arab, IV/612; Tajul Arus, I/3257
[3] Lih. Al-Fiqh Al-Islamiy, I/738
[4] Tafsir Ibnu Katsir, VI/481
[5] Kamus Al-Munawwir, bab Ja-la-ba, hal 199
[6] Demikianlah pendapat para mufassir seperti Ibnu Mas’ud, Ubaidah, Qatadah, Hasan Al-Bashri, Said bin Jubair, Ibrahim An-Nakha’i, Atha’ Al-Khurasaniy.
[7] Lih. Ash-Shihaah, I/101; demikian pendapat Al-Jauhary berdasarkan sya’ir seorang tokoh wanita dari suku Hudzail: “Berjalanlah ia seorang diri dengan lalai.. Yaitu dengan telanjang (hanya berkerudung saja –pen) tanpa berjilbab.”
[8] Lih. Asbab Nuzulil Qur’an, Al-Wahidi, I/126; Lih. Juga Tafsir Munir, Az-Zuhayli, XI/247
[9] Imam Az-Zayadi Asy-Syafi’i dalam Syarhul Muharrar menyebutkan 4 jenis aurat bagi wanita: Pertama, aurat saat shalat yaitu kecuali wajah dan 2 tapak tangan; Kedua, aurat pandangan dari orang laki-laki yaitu semuanya termasuk lelaki dilarang memandangi secara terus-menerus wajah dan tangan wanita; Ketiga, aurat di depan suami atau saat sendirian yaitu sama dengan aurat laki-laki (kecuali pusar dan lutut); Keempat, aurat di depan orang kafir yaitu seluruh tubuhnya (Lih. Hawasyi Asy-Syairaziy, II/112).h
[10] Menurut Abul Ma’aliy Al-Hanbali, aurat anak sbb: 1) Sblm 6 tahun semuanya bisa dilihat, 2) Setelah 6 th yang boleh dilihat rambut, betis dan lengan (ada juga yang menyatakan seluruh tubuhnya kecuali 2 kemaluan), 3) Setelah 10 tahun sama dengan setelah baligh (lih. Al-Furu’ Libni Muflih, I/476).
*Disadur dari tulisan Abu Abdillah di Al-Ikhwan.net
Label: JILBAB
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar